MPR Punya Kewenangan Mutlak
Dulu, MPR Punya Kewenangan Mutlak Berhentikan Presiden
Anggota MPR Mohammad Toha mengatakan bahwa dulu, MPR
memiliki kewenangan yang mutlak untuk memberhentikan presiden sebelum UUD 1945
diamandemen. Namun dengan berjalannya waktu, kini tak lagi seperti itu dan
harus melewati banyak proses.
"Tahun 2002, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan
oleh MPR. Namun, pasca amandemen mustahil untuk bisa memberhentikan
presiden," ujar Toha dalam keterangannya, Minggu (14/10/2018).
Hal itu diungkapkan anggota Fraksi PKB tersebut saat menjadi
narasumber Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan metode Training of Trainer (TOT)
bagi kalangan perwira menengah TNI AL di Surabaya, Jawa Timur.
Menurut Mantan Wakil Bupati Sukoharjo Jateng ini, kini
pemberhentian presiden melalui proses dari DPR, MK baru ke MPR.
Dia menceritakan bahwa dulu sebelum amandemen, anggota MPR
terdiri dari utusan daerah dan golongan. Sedangkan kini, live chat bigbrobet & bigbropoker anggota MPR dipilih
oleh rakyat lewat pemilu yang memilih anggota DPR dan DPD. Dengan demikian, sekarang MPR lebih mencerminkan kemauan
rakyat," katanya.
Selain itu kata Toha, dulu Soeharto bisa menjadi presiden
berkali-kali sebab dalam UUD 1945, tidak ada batasan bagi seseorang untuk
menjadi dan menjabat sebagai presiden. Hal ini juga berbeda dengan sekaang yang
memiliki batasan masa jabatan. Perubahan yang terjadi dalam UUD membuat sistem
tata negara Indonesia menganut sistem saling mengawasi.
"Konstitusi membatasi masa jabatan presiden selama dua
kali. poker online Sistemnya kini dari vertikal hierarkhis menjadi horizontal
fungsional," ungkap dia.
Perubahan di MPR dan sistem tata negara ini menurutnya
karena adanya gerakan reformasi oleh mahasiswa di tahun 1998. Gerakan itu salah
satunya adalah menuntut supremasi hukum dan kebebasan pers.
Pada kesempatan yang sama, Lemkaji MPR Syamsul Bahri yang
juga menjadi salah satu narasumber mengatakan kesetujuannya dengan Toha.
Sebagai Guru Besar Universitas Brawijaya, dia mengatakan perubahan yang terjadi
di MPR dikarenakan anggota lembaga itu sendiri yang mengamputasi kewenangan
yang dimiliki. Kini dengan adanya amputasi yang tidak tepat, membuat perjalanan
bangsa dan negara ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Beberapa hal pengamputasian itu antara lain disebutkannya,
MPR tak punya kewenangan lagi untuk membuat haluan negara, GBHN, membuat
pembangunan yang dilakukan mengacu pada visi dan misi presiden. Itu semua
membuat arah pembangunan berganti ketika presidennya ikut berganti.
Namun, Syamsul bersyukur sekarang ada keinginan dari MPR
untuk melakukan amandemen yang bertujuan untuk mengembalikan MPR mempunyai
kewenangan membuat GBHN. Dia juga optimis bila ada haluan negara membuat arah
pembangunan bangsa ini tak ke mana-mana. Tak lupa dia mengusulkan agar haluan
negara yang ada tidak terlalu teknokratis dan teknis. "Dalam Sidang Tahunan MPR 2018 sudah diusulkan
melakukan amandemen demi haluan negara," tuturnya.
Syamsul mengatakan rancangan pembangunan bangsa hingga 50
tahun ke depan dianggap hal yang penting. Dia membandingkannya dengan China yang
mampu merancang pembangunan hingga 150 tahun ke depan. Ini semua agar haluan
negara itu tak kaku dan bisa menyesuaikan perkembangan jaman.
Komentar
Posting Komentar